Selasa, 24 Februari 2015

Kuliah Pertama Semester VI

Kesan buruk. Jam kosong, sedangkan semangat sangat on fire. Ini hari pertama. Sayangnya, hanya ada ruang kosong dengan cat krem yang membosankan. Seperti karamel yang belum dilelehkan. Tak ada bedanya dengan gumpalan warna nanggung yang tidak menarik hati. Ini lantai tiga, dan butuh perjuangan untuk sampai di ruang ini. Setidaknya, setelah saya berjalan memutari kampus demi mencapai gedung yang jauh dari pintu gerbang, kemudian mendaki tangga yang kelokannya tidak hanya sebuah, menunggu hingga kelas sebelum jam 10.20 dimulai, kemudian menarik gagang pintu yang sepertinya telah terbubuhi lem sehingga susah tergerak lalu pintu terbuka, saya berharap beberapa menit tepat setelah saya menimpakan kursi dengan berat badan saya, sosok dosen kontroversial itu segera muncul. Saya bilang kontroversial karena beliau mengajar sebuah mata kuliah. Sebut saja mata kuliah A, tapi justeru beliau mengajarkan kami materi B. Lagi, ketika ujian akhir semester, kami datang pada jam 10 setelah malamnya kami belajar materi yang banyak. Beliau selalu saja tidak kira-kira memberi kami persoalan. Padahal, persoalan hidup kami saja masih menanti untuk diselesaikan. Kami menunggu hingga waktu habis, dan sebagian dari kami memilih untuk pulang. Kebetulan, mata kuliah yang beliau ajarkan kepada kami akan diteskan secara langsung kepada kami. Tapi, beliaunya justeru tidak datang. Bukan. Lebih tepatnya, beliau datang, selang puluhan menit setelah jam tes selesai. Awas saja, kalau nilai kami tidak keluar. Bukan kami yang tidak mau tes, tapi Anda  yang tidak datang. Kecam mahasiswa kala itu.Mau protes, mudah saja dan bisa saja, tapi nilai kami taruhannya. Sebagai mahasiswa yang tidak ingin nilainya rata-rata saja, dan dengan berorientasi kepada masa depan kelak di dunia kerja, serta selembar kertas yang akan di lihat oleh anak cucu semuanya, mahasiswa beliau, saya dan teman-teman memilih untuk diam. Menikmati perkuliahan dengan hati yang tak karuan.
            Ketika memasuki ruangan itu, saya membayangkan melihat beliau yang kurus membuka pintu dan keberatan menahan beban tas punggung hitam yang tebal. Sepertinya, isinya laptop, kamus arab-indonesia, kamus indonesia-arab, kamus inggris-arab, kamus arab-inggris, dan kamus indonesia-inggris, semuanya beliau bawa dengan satu tas. Lalu duduk, sejenak membetulkan kaca matanya sementara kami duduk di kursi dengan hati yang dongkol dan bisik-bisik yang menggelitik. Kemudian, saya harap saya akan mendengarkan aksen arab inggris beliau yang tidak lebih jelas dari aksen India. Sulit sekali di pahami. Lalu, akan ada satu, dua, atau tiga teman saya, saya menyebut mereka –pemberontak—melontarkan kalimat yang tidak enak di dengar kepada beliau dan kemudian perdebatanpun terjadi. Raut-raut muka orang-orang berubah. Bertukar lebih tepatnya. Beliau yang duduk di depan kami menjadi pucat, hendak marah tetapi jumlah kami terlalu banyak. Sementara kami senyum-senyum bahagia karena beliau kena kick dari pemberontak yang sebangsa dengan kami.
            Saya membayangkan, kelas kami akan riuh seperti biasanya, kemudian permintaan untuk segera pulang terlontar dari mulut-mulut kami bak peluru yang merobohkan ketepatan waktu beliau, meski beliau tidak tepat waktu juga. Saya membayangkan, kelas pertama saya di semester VI ini akan sangat lama. Sembilan puluh menit yang di kuadratkan. Saya di kalikan tiga kali. Entahlah. Saya tidak tahu persis seperti apa tepatnya. Waktu yang hanya bisa terobati dengan sebuah kalimat sederhana. Mari kita akhiri kuliah hari ini.
            Tapi yang terjadi, ruangan krem ini belum berpenghuni. Kosong. Hanya angin yang dengan bebas menari-nari, berlari-lari. Di sudut, papan putih dengan bekas coretan spidol yang tidak hilang meskipun telah di hapus berdiri siap seolah mengomando kursi-kursi untuk membentuk barisan berbanjar. Lurus, seperti para prajurit ketika apel pagi atau sore. Sayangnya, tidak ada sang saka merah putih yang bisa di beri hormat. Hanya selembar jilbab merahku yang diterbangkan sebagian oleh angin. Menyadarkan saya, ini ruangan di lantai atas, dimana segenap udara dapat berakrobat bebas, tanpa tersangkut dahan dan ranting, hanya tembok-tembok tak berkapiler yang kemudian memaksa mereka untuk berbelok sejenak, mencari celah-celah ventilasi guna para angin mengekspresikan diri.
            Ah, saya memutuskan untuk berkhalwat saja dengan laptop saya. Mencari short movie tentang kebaikan hati yang kemarin belum sempat saya tonton. Oh iya, sudah saya delete permanently. Ah, merinding. Gara-gara lampu kamar mandi saya mati, dan cerita-cerita hantu kamar mandi yang di you tube menguarkan aroma horor. Keluar saja, bertemu teman-teman yang tak kunjung menyusul saya mendaki ‘gunung’ ini. Saya keluar, kemudian kami bertemu. Saya dan teman-teman yang sedari dua bulan lalu tidak kunjung bertemu. Segala puji-pujian bagi Allaah, saya bersyukur. Ini kuliah pertama, saya semester VI. Bismillaah J

*bawah tangga Gedung Lab Kampus 2

4 komentar:

  1. Sy sangat bisa memahami kegelisahan akademik Ananda. Semoga ke depan dosen yg Ananda maksud bisa meng up grade dirinya kmd tampil menjadi sosok pendidikj ideal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebulan yang lalu kami mengajukan protes ke Kaprodi terkait kinerja Beliau, dan sekarang alhamdulillaah beliau sudah di bawah pengawasan kaprodi dan jajarannya. ^^

      Hapus