Kesan
buruk. Jam kosong, sedangkan semangat sangat on fire. Ini hari pertama.
Sayangnya, hanya ada ruang kosong dengan cat krem yang membosankan. Seperti
karamel yang belum dilelehkan. Tak ada bedanya dengan gumpalan warna nanggung
yang tidak menarik hati. Ini lantai tiga, dan butuh perjuangan untuk sampai di
ruang ini. Setidaknya, setelah saya berjalan memutari kampus demi mencapai
gedung yang jauh dari pintu gerbang, kemudian mendaki tangga yang kelokannya
tidak hanya sebuah, menunggu hingga kelas sebelum jam 10.20 dimulai, kemudian
menarik gagang pintu yang sepertinya telah terbubuhi lem sehingga susah
tergerak lalu pintu terbuka, saya berharap beberapa menit tepat setelah saya
menimpakan kursi dengan berat badan saya, sosok dosen kontroversial itu segera
muncul. Saya bilang kontroversial karena beliau mengajar sebuah mata kuliah.
Sebut saja mata kuliah A, tapi justeru beliau mengajarkan kami materi B. Lagi,
ketika ujian akhir semester, kami datang pada jam 10 setelah malamnya kami
belajar materi yang banyak. Beliau selalu saja tidak kira-kira memberi kami
persoalan. Padahal, persoalan hidup kami saja masih menanti untuk diselesaikan.
Kami menunggu hingga waktu habis, dan sebagian dari kami memilih untuk pulang.
Kebetulan, mata kuliah yang beliau ajarkan kepada kami akan diteskan secara
langsung kepada kami. Tapi, beliaunya justeru tidak datang. Bukan. Lebih
tepatnya, beliau datang, selang puluhan menit setelah jam tes selesai. Awas
saja, kalau nilai kami tidak keluar. Bukan kami yang tidak mau tes, tapi
Anda yang tidak datang. Kecam
mahasiswa kala itu.Mau protes, mudah saja dan bisa saja, tapi nilai kami
taruhannya. Sebagai mahasiswa yang tidak ingin nilainya rata-rata saja, dan
dengan berorientasi kepada masa depan kelak di dunia kerja, serta selembar
kertas yang akan di lihat oleh anak cucu semuanya, mahasiswa beliau, saya dan
teman-teman memilih untuk diam. Menikmati perkuliahan dengan hati yang tak
karuan.
Ketika memasuki ruangan itu, saya
membayangkan melihat beliau yang kurus membuka pintu dan keberatan menahan
beban tas punggung hitam yang tebal. Sepertinya, isinya laptop, kamus
arab-indonesia, kamus indonesia-arab, kamus inggris-arab, kamus arab-inggris,
dan kamus indonesia-inggris, semuanya beliau bawa dengan satu tas. Lalu duduk,
sejenak membetulkan kaca matanya sementara kami duduk di kursi dengan hati yang
dongkol dan bisik-bisik yang menggelitik. Kemudian, saya harap saya akan
mendengarkan aksen arab inggris beliau yang tidak lebih jelas dari aksen India.
Sulit sekali di pahami. Lalu, akan ada satu, dua, atau tiga teman saya, saya
menyebut mereka –pemberontak—melontarkan kalimat yang tidak enak di dengar
kepada beliau dan kemudian perdebatanpun terjadi. Raut-raut muka orang-orang
berubah. Bertukar lebih tepatnya. Beliau yang duduk di depan kami menjadi
pucat, hendak marah tetapi jumlah kami terlalu banyak. Sementara kami
senyum-senyum bahagia karena beliau kena kick dari pemberontak yang
sebangsa dengan kami.
Saya membayangkan, kelas kami akan
riuh seperti biasanya, kemudian permintaan untuk segera pulang terlontar dari
mulut-mulut kami bak peluru yang merobohkan ketepatan waktu beliau, meski
beliau tidak tepat waktu juga. Saya membayangkan, kelas pertama saya di
semester VI ini akan sangat lama. Sembilan puluh menit yang di kuadratkan. Saya
di kalikan tiga kali. Entahlah. Saya tidak tahu persis seperti apa tepatnya.
Waktu yang hanya bisa terobati dengan sebuah kalimat sederhana. Mari kita
akhiri kuliah hari ini.
Tapi yang terjadi, ruangan krem ini
belum berpenghuni. Kosong. Hanya angin yang dengan bebas menari-nari,
berlari-lari. Di sudut, papan putih dengan bekas coretan spidol yang tidak
hilang meskipun telah di hapus berdiri siap seolah mengomando kursi-kursi untuk
membentuk barisan berbanjar. Lurus, seperti para prajurit ketika apel pagi atau
sore. Sayangnya, tidak ada sang saka merah putih yang bisa di beri hormat.
Hanya selembar jilbab merahku yang diterbangkan sebagian oleh angin.
Menyadarkan saya, ini ruangan di lantai atas, dimana segenap udara dapat
berakrobat bebas, tanpa tersangkut dahan dan ranting, hanya tembok-tembok tak
berkapiler yang kemudian memaksa mereka untuk berbelok sejenak, mencari
celah-celah ventilasi guna para angin mengekspresikan diri.
Ah, saya memutuskan untuk berkhalwat
saja dengan laptop saya. Mencari short movie tentang kebaikan hati yang kemarin
belum sempat saya tonton. Oh iya, sudah saya delete permanently. Ah, merinding.
Gara-gara lampu kamar mandi saya mati, dan cerita-cerita hantu kamar mandi yang
di you tube menguarkan aroma horor. Keluar saja, bertemu teman-teman yang tak
kunjung menyusul saya mendaki ‘gunung’ ini. Saya keluar, kemudian kami bertemu.
Saya dan teman-teman yang sedari dua bulan lalu tidak kunjung bertemu. Segala
puji-pujian bagi Allaah, saya bersyukur. Ini kuliah pertama, saya semester VI. Bismillaah
J
*bawah
tangga Gedung Lab Kampus 2